
Di tengah arus informasi global yang serba cepat, isu pengungsi kerap dibingkai dengan narasi sederhana—bahkan menyederhanakan manusia menjadi angka dan label. Salah satu klaim yang sering beredar adalah anggapan bahwa sebagian besar pengungsi dunia berasal dari latar belakang Muslim. Klaim ini terdengar tegas, tetapi realitas di lapangan jauh lebih kompleks.
Pengungsi bukanlah kelompok homogen. Mereka adalah individu dan keluarga yang terpaksa meninggalkan rumah akibat perang, konflik internal, penindasan politik, atau krisis kemanusiaan. Faktor utama yang mendorong seseorang menjadi pengungsi bukanlah agama, melainkan kekerasan dan ketidakamanan di negara asal mereka.
Memang, sejumlah konflik besar dalam beberapa dekade terakhir terjadi di negara-negara dengan populasi Muslim yang signifikan. Situasi ini sering kali melahirkan persepsi bahwa agama menjadi penentu utama arus pengungsian. Padahal, yang lebih relevan adalah lokasi konflik dan skala kekerasan, bukan identitas keagamaan para korbannya.
Jika dilihat lebih dekat, banyak pengungsi berasal dari kawasan yang beragam secara etnis dan agama. Bahkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, para pengungsi sering mencakup kelompok minoritas agama lain yang sama-sama terdampak konflik. Dengan kata lain, pengungsian adalah fenomena lintas identitas.
Narasi yang terlalu menekankan agama berisiko mengaburkan akar masalah yang sebenarnya. Konflik bersenjata, runtuhnya institusi negara, pelanggaran hak asasi manusia, dan perebutan kekuasaan adalah pendorong utama migrasi paksa. Ketika fokus bergeser ke identitas agama, solusi jangka panjang justru semakin menjauh.
Selain itu, framing semacam ini dapat memperkuat stereotip dan ketakutan di negara tujuan. Pengungsi sering kali dipersepsikan sebagai “yang lain”, bukan sebagai manusia yang membutuhkan perlindungan. Padahal, hukum internasional memandang pengungsi sebagai subjek perlindungan tanpa membedakan agama, ras, atau latar belakang budaya.
Di banyak negara penerima, pengungsi dengan latar belakang yang sangat beragam hidup berdampingan, bekerja, dan berkontribusi pada masyarakat baru mereka. Kisah-kisah ini jarang mendapat sorotan sebesar narasi statistik yang sensasional, meskipun dampaknya jauh lebih membumi.
Membicarakan pengungsi dengan pendekatan yang lebih jernih berarti melihat manusia sebelum label. Agama mungkin menjadi bagian dari identitas seseorang, tetapi bukan alasan mereka melarikan diri. Ketika konflik mereda dan perdamaian tercipta, yang diharapkan para pengungsi bukanlah pengakuan atas identitas mereka, melainkan kesempatan untuk hidup aman dan bermartabat.
Di era polarisasi global, pemahaman yang akurat menjadi kunci. Pengungsi bukanlah representasi satu agama atau budaya tertentu, melainkan cerminan kegagalan dunia mencegah konflik dan melindungi warganya. Menggeser fokus dari stereotip ke realitas adalah langkah awal menuju kebijakan yang lebih manusiawi dan efektif.





Leave a comment