Sejumlah orang berpartisipasi dalam demonstrasi menentang rasime dan Islamophobia, membawa spanduk dengan pesan anti-diskriminasi di sebuah kota Eropa.

Eropa — Di banyak kota Eropa, Islamophobia tidak selalu hadir dalam bentuk serangan terbuka atau aksi kekerasan yang viral di media. Ia sering muncul sebagai sesuatu yang lebih sunyi namun sistematis: tatapan curiga di transportasi umum, komentar merendahkan di tempat kerja, vandalisme anonim terhadap masjid, hingga kebijakan publik yang secara tidak langsung menargetkan satu kelompok agama tertentu.

Dalam beberapa tahun terakhir, dan meningkat tajam pasca krisis geopolitik global, insiden anti-Muslim di Eropa menunjukkan pola yang konsisten: naik secara kuantitatif dan semakin kompleks secara kualitatif.

Dari Prasangka Sosial ke Pola Terstruktur

Data yang dihimpun oleh berbagai lembaga pemantau memperlihatkan bahwa Islamophobia tidak lagi bersifat insidental. Ia berkembang menjadi pola sosial yang terstruktur, dengan ciri utama berupa normalisasi bahasa diskriminatif dan pembingkaian Muslim sebagai “ancaman internal”.

Di sejumlah negara Eropa Barat dan Tengah, laporan insiden mencakup:

  • Pelecehan verbal di ruang publik
  • Diskriminasi di pasar tenaga kerja
  • Kekerasan simbolik terhadap tempat ibadah
  • Serangan fisik terhadap individu Muslim

Yang paling mencolok, korban sering kali adalah perempuan Muslim yang mengenakan hijab, karena identitas keagamaan mereka terlihat jelas dan mudah disasar. Anak-anak dan remaja Muslim juga menghadapi perundungan di sekolah, memperkuat siklus marginalisasi sejak usia dini.

Negara dengan Angka Tinggi, Masalah yang Sama

Beberapa negara mencatat angka insiden yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Namun perbedaannya sering kali bukan pada tingkat kejadian semata, melainkan pada kemampuan negara dalam mendokumentasikan dan mengakui masalah tersebut.

Negara dengan sistem pelaporan yang lebih maju justru terlihat “lebih buruk” di atas kertas, sementara negara lain tampak lebih aman karena korban enggan melapor atau karena kategori Islamophobia tidak diakui secara eksplisit dalam sistem hukum.

Akibatnya, banyak kasus berhenti sebagai pengalaman personal tanpa konsekuensi hukum, menciptakan kesan bahwa Islamophobia adalah masalah sosial ringan, bukan ancaman serius terhadap kohesi masyarakat.

Peran Politik dan Media

Salah satu faktor paling menentukan dalam peningkatan Islamophobia adalah retorika politik, khususnya dari kelompok populis dan ekstrem kanan. Islam sering diposisikan sebagai antitesis nilai Eropa, dilekatkan pada isu terorisme, kriminalitas, dan kegagalan integrasi.

Narasi ini diperkuat oleh sebagian media yang menyederhanakan isu kompleks menjadi dikotomi “kami versus mereka”. Kejahatan individual kerap digeneralisasi sebagai masalah komunitas, sementara kontribusi Muslim terhadap ekonomi dan kehidupan sosial jarang disorot.

Dalam konteks ini, Islamophobia tidak hanya tumbuh dari ketakutan, tetapi juga diproduksi dan direproduksi sebagai alat mobilisasi politik.

Dampak Psikologis dan Sosial

Bagi komunitas Muslim, dampaknya jauh melampaui angka statistik. Banyak yang hidup dalam kondisi kewaspadaan konstan, membatasi ekspresi keagamaan, bahkan menghindari ruang publik tertentu.

Keputusan sederhana seperti mengenakan simbol agama, mengantar anak ke masjid, atau berbicara dalam bahasa ibu bisa berubah menjadi sumber kecemasan.

Fenomena ini menciptakan apa yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai “kewarganegaraan bersyarat”, di mana Muslim dianggap warga penuh hanya selama mereka tidak “terlalu terlihat” sebagai Muslim.

Kegagalan Pendekatan Keamanan

Ironisnya, banyak kebijakan yang diklaim bertujuan meningkatkan keamanan justru memperburuk Islamophobia. Pendekatan berbasis kecurigaan kolektif memperkuat stigma, mendorong alienasi, dan melemahkan kepercayaan antara komunitas Muslim dan negara.

Alih-alih mencegah ekstremisme, kebijakan semacam ini sering memperluas jurang sosial, menciptakan kondisi yang justru rentan terhadap radikalisasi dan konflik horizontal.

Islamophobia sebagai Ancaman Demokrasi

Dalam jangka panjang, Islamophobia bukan hanya masalah hak minoritas, tetapi ujian bagi demokrasi Eropa itu sendiri. Ketika satu kelompok agama dinormalisasi sebagai target kecurigaan, prinsip kesetaraan hukum dan kebebasan beragama ikut tergerus.

Sejumlah pengamat menilai bahwa cara Eropa menghadapi Islamophobia akan menentukan apakah benua ini mampu mempertahankan identitasnya sebagai ruang pluralisme, atau justru bergeser menuju eksklusivisme yang berbasis ketakutan.


Leave a comment

Trending