PM Inggris Sir Keir Starmer

London — Inggris, dulu pernah dijuluki “sick man of Europe” saat krisis industri di era 1970-an, kini kembali berada di bawah sorotan tajam setelah serangkaian data ekonomi terbaru menunjukkan pertumbuhan yang lemah, ketimpangan perdagangan yang tinggi, dan indikator pasar tenaga kerja serta manufaktur yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang kesehatan ekonomi negeri itu. (euronews)

PDB Negatif dan Pertumbuhan yang Terkontraksi

Angka Produk Domestik Bruto (PDB) terbaru menunjukkan kontraksi bulan ke bulan, sebuah sinyal yang jarang terlihat dalam ekonomi maju seperti Inggris. PDB pada beberapa periode terakhir mencatat penurunan, bukan pertumbuhan yang diharapkan untuk negara yang selama ini menjadi salah satu pusat keuangan global. (Investing.com Indonesia)

Kontraksi ini bukan sekadar angka statistik: ini mencerminkan melemahnya aktivitas ekonomi di sektor riil, dimana konsumen lebih berhati-hati membelanjakan uang mereka, dan investasi bisnis cenderung stagnan. Penurunan ini memperjelas bahwa tekanan struktural sudah melampaui sekadar fluktuasi siklus ekonomi.

Tenaga Kerja dan Pasar Kerja dalam Tekanan

Indikator terbaru menunjukkan bahwa jumlah lowongan pekerjaan di Inggris masih jauh di bawah level sebelum pandemi, dan terus menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Di banyak sektor, terutama pekerjaan berupah rendah, pertumbuhan lowongan tertahan oleh biaya tenaga kerja yang meningkat serta ketidakpastian kebijakan ketenagakerjaan yang bergulir dalam perdebatan parlemen. (euronews)

Beban biaya sosial bagi pemberi kerja naik, dan peraturan baru yang belum final membuat perusahaan ragu melakukan perekrutan besar-besaran. Akibatnya, pasar tenaga kerja yang biasanya menjadi penyangga terhadap perlambatan ekonomi sekarang justru menunjukkan tanda-tanda lemahnya permintaan tenaga kerja.

Sektor Manufaktur Bergulat: Produksi Turun dan Pemulihan Lambat

Sektor manufaktur, yang historis menjadi kekuatan tradisional Inggris, juga menunjukkan tanda pemulihan yang lambat. Produksi manufaktur terkini masih di bawah ekspektasi, bahkan setelah kemajuan kecil dari bulan-bulan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa basis industri negara kemungkinan belum pulih sepenuhnya dari tekanan global, termasuk disrupsi rantai pasok dan ketidakpastian perdagangan pasca-Brexit. (Investing.com Indonesia)

Neraca Perdagangan Merosot: Impor Lebih Besar dari Ekspor

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Inggris adalah defisit perdagangan yang semakin melebar. Data terbaru menunjukkan bahwa selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa jauh di luar ekspektasi, dengan ekspor yang tertahan sementara impor tetap tinggi. Ini menandakan bahwa produk dan jasa Inggris menghadapi persaingan global yang ketat, dan pertumbuhan ekspor belum cukup kuat untuk menutup gap perdagangan. (Investing.com Indonesia)

Defisit perdagangan yang besar memberi tekanan pada nilai mata uang dan cadangan devisa, serta mengurangi kapasitas pertumbuhan jangka panjang — karena negara pada dasarnya mengeluarkan lebih banyak untuk barang luar negeri daripada yang dihasilkan untuk dijual ke luar.

Bank Sentral Merespons: Suku Bunga Turun untuk Meredam Tekanan

Bank of England diperkirakan akan melanjutkan penurunan suku bunga sebagai respons terhadap melambatnya pertumbuhan dan inflasi yang mulai mereda. Penurunan suku bunga ini dimaksudkan untuk mendorong investasi dan konsumsi, namun juga mencerminkan kekhawatiran bahwa ekonomi sedang mengalami tekanan yang lebih dalam dari yang terlihat di permukaan. (Trading Economics)

Bahaya Kekambuhan “Sick Man” Eropa

Istilah “sick man of Europe” muncul kembali bukan sekadar retorika — tetapi sebagai gambaran kumulatif dari data-data yang saling memperkuat bahwa Inggris sedang berada dalam fasa ekonomi yang rentan. Dari kontraksi PDB, tekanan pasar tenaga kerja, defisit perdagangan yang melebar, hingga lemahnya industri manufaktur, semua itu menunjukkan bahwa ekonomi Inggris tengah mengalami pergantian era: dari pertumbuhan yang stabil menjadi pertumbuhan yang berjuang untuk menemukan pijakan baru.

Jika tren ini berlanjut, konsekuensinya bisa jauh lebih luas:

  • Kepercayaan investor jatuh,
  • Permintaan konsumen terus melemah,
  • Kebijakan fiskal dan moneter semakin terbatas,
  • Risiko stagnasi jangka panjang meningkat,

situasi yang pernah menghantui berbagai negara berkembang kini menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh ekonomi maju seperti Inggris.

Menatap Masa Depan: Rebalancing atau Resesi yang Berkepanjangan?

Para analis mengatakan bahwa Inggris perlu melakukan rebalancing ekonomi: memperkuat ekspor, memperbaiki produktivitas sektor industri, dan menarik investasi yang mendorong pertumbuhan inovatif. Tanpa langkah strategis yang jelas, lambatnya pemulihan dapat berlanjut, memperpanjang periode stagnasi — atau bahkan menempatkan Inggris kembali dalam status “sick man of Europe” secara faktual, bukan hanya istilah sejarah. (Yahoo Finance)


Leave a comment

Trending