Wawancara singkat dengan Dr. Rosalia (Lia) Sciortino di SEA Junction, Bangkok
Artikel berikut ini bukan berita, opini atau analisa tentang Eropa sebagai kawasan melainkan sebuah percakapan tentang Persimpangan Asia Tenggara (SEA Junction) yang digagas oleh seorang pakar Ilmu Sosial asal Eropa (Italia), yakni Dr. Rosalia Sciortino yang juga dikenal sebagai Ibu Lia.
Di tengah hiruk pikuk Bangkok yang nyaris tak pernah berhenti, terdapat sebuah ruang yang bekerja dengan ritme berbeda. Tidak riuh, tidak terburu-buru, dan tidak mengejar sensasi. SEA Junction berdiri sebagai ruang baca, ruang temu, dan ruang berpikir tentang Asia Tenggara, kawasan yang kerap dibicarakan, tetapi jarang benar-benar dibaca secara utuh.

Di sinilah kami dari Kabar Eropa berbincang dengan Dr. Rosalia Sciortino, yang juga menjabat sebagai Associate Professor di Institute of Population and Social Research (IPSR) Mahidol University, pendiri SEA Junction, antropolog budaya, dan sosiolog pembangunan yang telah menghabiskan puluhan tahun hidup dan bekerja di Asia Tenggara. Percakapan kami bergerak dari gagasan bagaimana memahami Asia Tenggara hingga isu regional yang kompleks, dari Indonesia hingga Myanmar, dari pengetahuan publik hingga kriminalitas lintas negara.
SEA Junction dan Politik Ruang Pengetahuan
SEA Junction atau Southeast Asia Junction merupakan aktivitas utama dari Foundation for Southeast Asia Studies, sebuah yayasan non-profit berbasis di Thailand yang berdiri sejak 2018. Misinya sederhana tetapi sangat penting: memperluas pemahaman publik tentang Asia Tenggara dalam seluruh dimensi sosial dan budaya, tidak hanya melalui riset akademik, tetapi juga lewat ruang fisik yang dapat diakses siapa pun.
Berbeda dari pusat studi kawasan yang umumnya tertutup atau tersegmentasi, SEA Junction secara sadar memilih posisi sebagai ruang publik informal. Buku-buku, diskusi, pameran, dan percakapan lintas disiplin menjadi bagian dari keseharian tempat ini.
“Pengetahuan tentang Asia Tenggara terlalu sering terperangkap di institusi,” kata Rosalia. “Padahal kawasan ini hidup, bergerak, dan berubah setiap hari. Pengetahuan tersebut perlu ruang yang bisa diakses publik untuk dipahami secara kritis.”
Di titik inilah SEA Junction tidak sekadar menjadi perpustakaan atau event space. SEA Junction adalah pernyataan politik tentang siapapun berhak mengakses pengetahuan, dan bagaimana Asia Tenggara seharusnya dibicarakan. Contoh acara terbaru yaitu panel #SEABlings pada Oktober 2025 yang membahas gerakan solidaritas regional, serta panel “Neighbours in Need: In Need of Neighbours” pada Desember 2025 yang membahas mengenai kekurangan tenaga kerja dan migrasi campuran.
Rosalia Sciortino dan Jalan Panjang Melintasi Asia Tenggara
Rosalia Sciortino lahir di Palermo, Italia. Rosalia bukan Warga Negara Indonesia, tetapi istri mendiang legenda pencak silat Indonesia, Pendekar Guru O’ong Maryono tersebut merupakan bagian dari keluarga besar diaspora Indonesia. Selain itu, sebagian besar karier profesional dan intelektualnya justru dibentuk oleh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pendidikan doktoralnya di Vrije Universiteit Amsterdam, Rosalia selesaikan dengan predikat cum laude, sebelum kemudian bekerja di berbagai lembaga internasional seperti IDRC, AusAID Indonesia, dan Rockefeller Foundation.
Rosalia pernah membuka kantor Rockefeller Foundation untuk Asia Tenggara di Bangkok, mengelola program kesehatan reproduksi, dan mendampingi berbagai inisiatif pembangunan di Indonesia sejak 1990-an. Dalam percakapan kami, Indonesia bukan sekadar objek kajian, melainkan bagian dari lanskap hidupnya.
“Saya belajar tentang Indonesia bukan dari satu disiplin, tetapi dari perjumpaan,” ujarnya. “Dari birokrasi, komunitas, aktivis, dan perubahan sosial yang sering kali berjalan lebih cepat daripada kebijakan.”
Posisi sebagai outsider-insider ini memberikan Rosalia sudut pandang yang relatif jarang: cukup dekat untuk memahami kompleksitas lokal, tetapi cukup berjarak untuk melihat pola regional.
Asia Tenggara yang Terhubung, Tapi Rentan
Ketika pembicaraan beralih ke kondisi Asia Tenggara saat ini, nada percakapan berubah menjadi lebih reflektif. Kawasan ini, menurut Rosalia, berada dalam situasi paradoks: semakin terhubung secara ekonomi dan digital, tetapi juga semakin rentan secara sosial.
Salah satu contoh paling nyata adalah isu scam centres, khususnya di Kamboja. Operasi penipuan daring lintas negara ini memperlihatkan bagaimana teknologi, migrasi, dan ketimpangan ekonomi saling bertaut. Di balik angka kerugian global, terdapat kisah pekerja migran yang terjebak, sistem hukum yang lemah, dan kerja sama regional yang belum sepenuhnya berjalan efektif.
Isu ini, bagi Rosalia, tidak bisa dibaca hanya sebagai kejahatan siber, melainkan cermin dari kegagalan tata kelola regional dalam melindungi manusia yang bergerak lintas batas.
Dinamika serupa terlihat dalam krisis Myanmar. Konflik berkepanjangan pasca kudeta 2021 tidak hanya menciptakan krisis kemanusiaan internal, tetapi juga menekan stabilitas kawasan. Arus pengungsi, keamanan perbatasan, dan kebuntuan diplomasi ASEAN menjadi tantangan yang belum terselesaikan.
Posisi Indonesia di Kawasan
Dalam konteks ini, Indonesia menempati posisi yang ambigu sekaligus strategis. Sebagai demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi utama ASEAN, Indonesia sering diharapkan menjadi penyeimbang dan bridge-builder.
Namun, menurut Rosalia, kapasitas tersebut tidak otomatis terwujud. Tantangan domestik seperti ketimpangan sosial, polarisasi wacana publik, dan tekanan global terhadap demokrasi turut memengaruhi peran Indonesia di tingkat regional.
Dalam pengalaman panjangnya bekerja di Indonesia, Rosalia melihat bahwa isu-isu seperti pemberdayaan perempuan, social health, dan pendidikan publik kerap digunakan sebagai lensa untuk membaca arah pembangunan sebuah negara.
ASEAN dan Batas Diplomasi
ASEAN kerap dikritik karena pendekatan non-intervensinya, terutama dalam kasus Myanmar. Rosalia tidak menampik kritik tersebut, tetapi menekankan bahwa masalahnya bukan hanya pada struktur diplomasi, melainkan pada ketidakselarasan antara proses regional dan kesadaran publik.
“Diplomasi tidak bisa berdiri sendiri,” ujarnya. “Tanpa masyarakat yang memahami isu kawasan, ASEAN akan selalu bekerja dalam ruang sempit.”
Di sinilah ruang seperti SEA Junction menjadi relevan. Bukan sebagai pengganti negara, tetapi sebagai penguat ekosistem pengetahuan regional yang memungkinkan masyarakat membaca isu lintas negara dengan lebih jernih.
Membaca Asia Tenggara dari Sudut Berbeda
Meski penuh tantangan, Rosalia tetap melihat Asia Tenggara sebagai kawasan dengan potensi intelektual dan sosial yang besar. Generasi muda, jejaring kreatif, dan pertukaran lintas disiplin membuka peluang baru untuk membaca kawasan ini dari sudut berbeda, bukan semata dari perspektif elit politik atau ekonomi.
SEA Junction mencoba menjadi salah satu titik temu dalam jaringan tersebut. Tempat di mana Asia Tenggara tidak direduksi menjadi headline, tetapi dipahami sebagai ruang hidup yang kompleks.
Pada Desember 2025, SEA Junction menggelar pemutaran film dan diskusi “(Un)managing Refugee Crisis in Southeast Asia” yang memperdalam pembahasan mengenai pengungsi dan migrasi. Pendekatan mereka terhadap pertahanan dan keamanan (hankam) lebih menekankan keamanan manusia ketimbang dominasi militer, sehingga wacana hankam dibawa ke ranah kebijakan yang mengutamakan perlindungan warga dan stabilitas sosial.
Di akhir perbincangan kami, Rosalia menyampaikan kalimat yang terasa seperti rangkuman dari seluruh percakapan:
“Asia Tenggara tidak kekurangan analisis. Yang sering hilang adalah ruang untuk membaca dengan pelan, mendengar dengan jujur, dan berdialog tanpa agenda tersembunyi.”






Leave a comment