Pada Minggu 21 Desember 2025, melalui sebuah video pernyataan yang diunggah di akun Instagram pribadinya, @dinopattidjalal, Dino Patti Djalal menyampaikan empat kritik dan pesan strategis yang menurutnya menentukan masa depan diplomasi Indonesia.
Kritik tersebut mencakup aspek kepemimpinan internal Kementerian Luar Negeri (Kemlu), komunikasi publik, responsivitas terhadap pemangku kepentingan, serta gap antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pernyataan ini, yang disampaikan melalui video di media sosial, dimaksudkan sebagai saran konstruktif untuk meningkatkan diplomasi Indonesia. Namun, meskipun kritik tersebut mewakili pandangan sebagian kalangan, perlu dilakukan analisis mendalam berdasarkan fakta untuk menilai keabsahannya.
Artikel ini bertujuan membedah secara logis dan analitis, dengan mengandalkan data pencapaian konkret selama setahun jabatan Menlu Sugiono, yang dimulai sejak Oktober 2024. Pendekatan ini bukan untuk menolak kritik secara emosional, melainkan untuk menunjukkan bahwa kinerja Kemlu di bawah Sugiono telah menunjukkan kemajuan signifikan, meskipun di tengah tantangan global seperti polycrisis ekonomi dan geopolitik. Dengan demikian, kritik Dino dapat dilihat sebagai perspektif subjektif yang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas operasional.
Pertama, Dino mengkritik kepemimpinan internal Menlu Sugiono, dengan menyebut bahwa beliau kurang meluangkan waktu untuk memimpin Kemlu, yang berdampak pada pemotongan anggaran dan penurunan moral pegawai. Kritik ini mengasumsikan bahwa dedikasi waktu fisik adalah ukuran utama kepemimpinan, padahal dalam konteks diplomasi modern, efektivitas lebih ditentukan oleh hasil strategis.
Faktanya, selama 2025, Kemlu di bawah Sugiono berhasil mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk kesembilan kalinya berturut-turut, menunjukkan tata kelola keuangan yang akuntabel dan optimal meskipun anggaran terbatas. Ini bukan pencapaian rutin, melainkan bukti optimalisasi sumber daya yang cerdas. Selain itu, Sugiono aktif memimpin rapat pimpinan Kemlu, seperti yang dilakukan pada Oktober 2025, di mana dibahas penguatan kelembagaan dan prioritas diplomasi ekonomi.
Analisis logis menunjukkan bahwa pemotongan anggaran bukan semata kesalahan kepemimpinan, melainkan bagian dari kebijakan fiskal nasional di tengah pemulihan pasca-pandemi. Bukannya menurunkan moral, inisiatif seperti pelantikan 10 Duta Besar baru pada Oktober 2025 dan 7 Konsul Jenderal pada Juni 2025 justru memperkuat struktur organisasi, memastikan perwakilan RI di luar negeri lebih adaptif.
Survei IndoStrategi pada Oktober 2025 bahkan menempatkan Kemlu sebagai peringkat kedua tertinggi dalam kinerja kabinet, dengan skor tinggi atas kesuksesan bergabungnya Indonesia ke BRICS pada Januari 2025—sebuah prestasi yang memerlukan koordinasi internal kuat. Jika moral pegawai benar-benar rendah, pencapaian seperti evakuasi 97 WNI dari Iran pada Juni 2025 tidak mungkin terlaksana dengan lancar. Dengan demikian, kritik ini tampak berlebihan, karena fakta menunjukkan kepemimpinan Sugiono berfokus pada outcome, bukan hanya presence. (kemlu.go.id, antaranews.com)
Kedua, Dino menyoroti minimnya komunikasi publik dari Menlu Sugiono, menyebut beliau jarang memberikan policy speech dan cenderung “silent minister.” Argumen ini mungkin berasal dari perbandingan dengan era diplomat seperti Ali Alatas, tapi perlu dianalisis dalam konteks era digital saat ini.
Faktanya, Sugiono telah aktif berkomunikasi melalui saluran resmi, termasuk Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) 2025 pada Januari, di mana beliau memaparkan prioritas diplomasi multilateral untuk menghadapi polycrisis global, seperti reformasi struktur keuangan internasional. Pernyataan ini tidak hanya disiarkan secara luas, tapi juga menegaskan dukungan tegas Indonesia terhadap Palestina, menunjukkan posisi bebas aktif yang jelas.
Selain itu, akun resmi @Menlu_RI di X (sebelumnya Twitter) secara rutin membagikan update diplomasi, seperti diskusi dengan Menteri Pertahanan pada September 2025 dan audiensi dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada Agustus 2025. Survei 100 hari kerja pada Januari 2025 menunjukkan citra baik Sugiono mencapai 89,6%, dengan 76,8% responden menilai komunikasinya efektif—data ini membantah asumsi “silent.”
Secara rasional, komunikasi publik bukan hanya tentang frekuensi pidato, melainkan dampaknya. Misalnya, peran Sugiono dalam memperluas kerja sama bilateral, yang diakui melalui anugerah Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Prabowo pada Agustus 2025, telah dikomunikasikan melalui media nasional, membangun narasi positif tentang diplomasi Indonesia.
Kritik Dino mungkin mengabaikan bahwa di era informasi overload, komunikasi strategis lebih diutamakan daripada berisik tanpa substansi. Bukannya diam, Sugiono memilih berkomunikasi melalui aksi, seperti penandatanganan MoU dengan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia pada Oktober 2025 untuk integrasi data pelindungan WNI. (metrotvnews.com, news.detik.com)
Ketiga, kritik mengenai kurangnya responsivitas terhadap pemangku kepentingan, seperti mengabaikan undangan konferensi atau engagement dari komunitas pemerhati dan peminat hubungan internasional, perlu dibantah dengan bukti kolaborasi konkret.
Analisis menunjukkan bahwa Sugiono justru aktif dalam diplomasi multilateral, seperti memfasilitasi keanggotaan Indonesia di BRICS, yang melibatkan negosiasi intensif dengan negara-negara anggota. Ini bukan respons pasif, melainkan inisiatif proaktif yang meningkatkan posisi ekonomi Indonesia secara global. Selain itu, beliau melakukan diskusi dengan Kepala Perwakilan RI di Eropa pada November 2025 untuk memperkuat hubungan ekonomi, menunjukkan engagement langsung dengan stakeholder diplomatik.
Dari sisi prioritas, tidak semua undangan harus dihadiri; prioritas harus diberikan pada yang berdampak tinggi, seperti sinergi dengan Kementerian Digital pada September 2025 untuk kerja sama siber. Fakta evakuasi WNI dari wilayah konflik, seperti Iran dan Israel pada Juni 2025, menunjukkan responsivitas tinggi terhadap kebutuhan mendesak, yang melibatkan koordinasi dengan OKI.
Survei IndoStrategi menyoroti tiga penilaian positif: bergabung BRICS, pemulangan 500 korban online scam, dan penguatan diplomasi—semua ini membutuhkan responsivitas yang kuat. (sinpo.id, nasional.tvrinews.com)
Keempat, Dino menyoroti gap antara pemerintah dan masyarakat sipil, dengan menyarankan kolaborasi lebih kuat untuk menghindari “out of phase” dalam diplomasi. Namun, fakta menunjukkan Sugiono telah membangun jembatan tersebut melalui berbagai inisiatif. Misalnya, audiensi dengan NU pada Agustus 2025 dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada 24 Juli 2025 memperkuat diplomasi sosial-keagamaan.
Analisis logis: diplomasi efektif memang memerlukan coupling, tapi di bawah Sugiono, ini terwujud melalui program seperti Diplomacy Youth Forum yang didukung Kemlu. Pencapaian seperti sertifikat tanah eks Kedubes Inggris pada November 2025, yang memperkuat aset negara, melibatkan sinergi lintas lembaga—bukti kolaborasi. Selain itu, apresiasi atas diplomasi mengayomi WNI, termasuk pemulangan korban scam, menunjukkan integrasi dengan NGO dan masyarakat.
Riset menempatkan Kemlu sebagai “bintang baru” diplomasi, dengan kinerja positif dalam satu tahun Kabinet Merah Putih. Kritik ini mungkin mengabaikan konteks bahwa kolaborasi butuh waktu, tapi pencapaian seperti Bintang Mahaputera Utama membuktikan efektivitasnya. (tarakan.navigasi.co.id, sorotnews.co.id)






Leave a comment