
PARIS — Sepuluh tahun setelah penandatanganan Paris Agreement — kesepakatan iklim global yang dipuja sebagai terobosan paling ambisius dalam sejarah upaya internasional menahan laju pemanasan — suasana kini bukan lagi penuh kemenangan, melainkan campuran antara harapan, kegelisahan, dan konfrontasi dengan fakta ilmiah yang tak lagi bisa diabaikan. Kesepakatan yang dimulai dengan retorika “menjaga kenaikan suhu di bawah 2°C” kini menghadapi realitas perubahan iklim yang berjalan lebih cepat dan lebih keras daripada yang diperkirakan banyak pihak.
Harapan Besar di Balik Paris Agreement
Pada awal massa persetujuan, hampir seluruh negara di dunia — dari negara maju hingga berkembang — sepakatan bahwa perjudian terhadap iklim masa depan adalah risiko yang tak tertanggung. Negara-negara besar berjanji memangkas emisi, negara pulau kecil mencari jaminan kelangsungan hidup, dan masyarakat sipil global mengangkat spanduk perubahan menuju energi bersih dan berkeadilan.
Kesepakatan ini mencakup janji untuk:
- Mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastis,
- Peralihan ke energi terbarukan,
- Pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi di negara rentan,
- Pelibatan semua negara dalam target iklim nasional yang semakin ambisius.
Realitas yang Semakin Tidak Aman
Pada tahap awal, Paris Agreement membuat banyak orang percaya bahwa dunia akhirnya bergerak menuju koeksistensi iklim yang lebih aman.
Namun kenyataannya jauh dari optimal. Dalam satu dekade terakhir:
1. Suhu Global Naik Lebih Cepat dari Target
Angka suhu rata-rata dunia terus melewati rekor, musim panas terasa semakin panjang, dan kutub serta lapisan es mencair lebih cepat dari perkiraan ilmuwan.
2. Cuaca Ekstrem Semakin Biasa
Bukan lagi soal “kejadian langka”, tetapi gelombang panas, banjir besar, kebakaran hutan masif, dan badai tropis ekstrim kini terjadi hampir setiap tahun di berbagai belahan dunia. Negara yang semula tidak siap menghadapi cuaca ekstrem kini merasakan dampaknya secara langsung.
3. Ambang Batas Karbon Belum Masih Terlampaui
Beberapa analisis menunjukkan bahwa meskipun ada komitmen pengurangan, tingkat emisi global masih belum turun drastis. Negara-negara besar industri masih bergantung pada bahan bakar fosil, dan investasi dalam energi bersih belum berjalan dengan kecepatan yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C.
Perubahan Iklim: Dari Masalah Lingkungan ke Krisis Sosial
Lebih dari sekadar statistik, dampak perubahan iklim kini meresap ke kehidupan masyarakat — terutama di negara yang paling rentan:
- Produsen pangan tradisional kehilangan hasil panen karena kekeringan berkepanjangan,
- Komunitas pesisir melihat air laut naik menggerus permukiman dan ladang,
- Anak-anak di wilayah tropis menghadapi kesehatan yang terganggu akibat gelombang panas berkepanjangan,
- Migrasi iklim meningkat, di mana keluarga kecil dipaksa meninggalkan kampung halaman karena gagal panen dan kekurangan air.
Negara-negara kecil di Pasifik, Karibia, Afrika Timur, dan Asia Tenggara sering menjadi laboratorium nyata dari dampak yang telah diprediksi ilmuwan — mereka bukan lagi hanya peringatan, tapi korban pertama dari kegagalan mitigasi global.
Dua Jalan yang Bertentangan: Ambisi vs Kenyataan
Di satu sisi, komitmen iklim tetap hidup:
- Banyak negara terus memperbaiki Nationally Determined Contributions (NDCs),
- Teknologi energi terbarukan semakin murah dan efisien,
- Perubahan perilaku konsumen mulai mendorong permintaan terhadap produk rendah karbon,
- Investasi hijau mendapatkan momentum di kalangan investor besar.
Tetapi di sisi lain:
- Emisi masih stagnan atau meningkat di beberapa negara besar,
- Subsidi bahan bakar fosil masih besar,
- Perubahan kebijakan sering tertunda karena pertimbangan ekonomi jangka pendek,
- Fragmentasi diplomasi iklim masih menciptakan jurang antara janji dan pelaksanaan nyata.
Negara Berkembang dan Keputusan Berat
Negara-negara berkembang sering berada di posisi yang paling sulit: mereka harus menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan dengan tuntutan mitigasi iklim. Banyak dari negara ini tidak memiliki kapasitas fiskal atau teknologi untuk transisi cepat, dan mereka meminta dukungan finansial yang jauh lebih besar daripada yang saat ini tersedia melalui mekanisme internasional.
Pendanaan iklim yang dijanjikan dalam Paris Agreement (khususnya untuk adaptasi dan transisi energi di negara rentan) sering berjalan lambat atau dengan persyaratan yang rumit, meninggalkan banyak negara berjuang sendirian.
Momen Refleksi: Menakar Kegagalan dan Kemajuan
Di peringatan sepuluh tahun, banyak pemimpin dunia menyatakan bahwa Paris Agreement masih relevan — bahkan vital — tetapi menyadari bahwa realisasi target perlu lebih cepat dan lebih berani.
Beberapa pemimpin berpandangan bahwa dunia beroperasi dalam dua realitas:
- Realitas Teknis, di mana data ilmiah menunjukkan bahwa jalur menuju 1,5°C semakin sempit;
- Realitas Politik dan Ekonomi, di mana keputusan domestik sering mengutamakan lapangan kerja, investasi, dan stabilitas jangka pendek.
Konflik ini menjadi tema utama dalam diskusi global: bagaimana mendorong perubahan struktural besar tanpa memicu resistensi politik yang melemahkan kesepakatan iklim?
Ruang Harapan di Tengah Krisis
Meski tantangan besar, ada secercah harapan nyata:
- Transisi energi terbarukan kini ekonomis di lebih banyak negara dibandingkan pembangkit fosil baru.
- Inovasi teknologi mulai merambah penyimpanan energi, transportasi bersih, dan efisiensi sumber daya.
- Tekanan publik dari generasi muda semakin memaksa pemerintah bertindak lebih tegas.
- Komitmen non-negara seperti kota besar, perusahaan multinasional, dan lembaga keuangan berkontribusi pada penurunan emisi di beberapa sektor.
Langkah-langkah seperti komitmen nol bersih (net zero) oleh ratusan korporasi global dan pembatasan pembiayaan baru untuk batubara menunjukkan arah perubahan yang berarti, meskipun belum cukup cepat.
Berikut lanjutan tulisan fitur investigasi yang memperdalam analisis, memperluas sudut pandang geopolitik, ekonomi, dan sosial, serta menjaga gaya naratif-jurnalistik tanpa sitasi dan tetap koheren dengan bagian sebelumnya.
Ketika Politik Global Menabrak Agenda Iklim
Satu dekade setelah Paris Agreement, perubahan iklim tidak lagi berdiri sendiri sebagai isu lingkungan. Ia kini terjebak dalam pusaran geopolitik global. Perang, konflik regional, dan rivalitas ekonomi antarnegara besar secara langsung memengaruhi arah kebijakan iklim dunia.
Krisis energi yang dipicu ketegangan geopolitik membuat sejumlah negara kembali mengandalkan batu bara dan gas fosil sebagai solusi jangka pendek. Transisi energi yang semula diproyeksikan berlangsung cepat, tersendat oleh kekhawatiran stabilitas pasokan dan lonjakan harga energi. Dalam banyak kasus, target iklim nasional “disesuaikan ulang” demi menjaga ketahanan ekonomi dan sosial domestik.
Bagi para pengkritik, inilah titik rapuh Paris Agreement: kesepakatan ini sangat bergantung pada kemauan politik nasional, sementara krisis global kerap memaksa pemerintah memilih solusi instan daripada transformasi struktural jangka panjang.
Kesenjangan Antara Janji dan Implementasi
Di atas kertas, dunia tampak bergerak. Janji nol emisi bersih, peta jalan energi hijau, dan deklarasi pengurangan batubara bermunculan. Namun di lapangan, implementasi sering berjalan lambat, tidak merata, dan penuh kompromi.
Beberapa negara maju telah memangkas emisi, tetapi secara bersamaan memindahkan industri intensif karbon ke negara berkembang. Secara statistik global, emisi tetap tinggi, sementara tanggung jawabnya menjadi semakin kabur. Negara berkembang, yang sering kali paling terdampak perubahan iklim, justru menghadapi tekanan terbesar untuk menurunkan emisi tanpa dukungan finansial dan teknologi yang memadai.
Kesenjangan ini menciptakan rasa frustrasi yang mendalam, terutama di negara-negara yang merasa telah berkontribusi paling kecil terhadap krisis iklim, tetapi menanggung dampaknya paling besar.
Keadilan Iklim yang Masih Tertunda
Konsep keadilan iklim menjadi salah satu janji moral utama Paris Agreement. Namun sepuluh tahun kemudian, pertanyaan besarnya tetap sama: siapa yang membayar harga dari perubahan iklim?
Di banyak wilayah, masyarakat adat, petani kecil, nelayan pesisir, dan komunitas miskin perkotaan berada di garis depan krisis. Mereka kehilangan sumber penghidupan, menghadapi ketidakpastian cuaca, dan menanggung risiko kesehatan yang meningkat, sementara kontribusi mereka terhadap emisi global nyaris tidak signifikan.
Keadilan iklim tidak hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga tentang kompensasi, adaptasi, dan perlindungan sosial. Tanpa pendekatan ini, kebijakan iklim berisiko dipersepsikan sebagai beban tambahan, bukan solusi bersama.
Perusahaan, Pasar, dan Pertarungan Narasi Hijau
Dunia usaha memainkan peran ganda dalam satu dekade Paris Agreement. Di satu sisi, perusahaan multinasional berlomba menampilkan citra hijau melalui komitmen keberlanjutan dan laporan emisi. Di sisi lain, praktik greenwashing—menjual citra ramah lingkungan tanpa perubahan substansial—masih marak.
Pasar karbon, kredit offset, dan mekanisme perdagangan emisi menjadi medan perdebatan. Pendukungnya melihatnya sebagai insentif ekonomi untuk perubahan, sementara pengkritik menilai sistem ini memungkinkan negara dan perusahaan “membeli waktu” tanpa benar-benar memangkas emisi.
Ketegangan ini menyoroti dilema utama Paris Agreement: bagaimana memastikan bahwa solusi berbasis pasar benar-benar menghasilkan dampak iklim nyata, bukan sekadar kosmetik kebijakan.
Generasi Muda dan Tekanan dari Bawah
Jika ada satu perubahan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, itu adalah meningkatnya peran generasi muda dalam diskursus iklim. Dari aksi protes massal hingga advokasi kebijakan, tekanan dari masyarakat sipil semakin sulit diabaikan.
Bagi generasi ini, Paris Agreement bukan dokumen diplomatik, melainkan kontrak moral tentang masa depan mereka. Ketidaksabaran terhadap janji kosong dan penundaan politik mendorong tuntutan akan tindakan yang lebih radikal dan segera.
Tekanan dari bawah ini mulai memengaruhi kebijakan di beberapa negara, memaksa pemerintah untuk mengaitkan isu iklim dengan lapangan kerja hijau, keadilan sosial, dan ketahanan ekonomi jangka panjang.
Apakah Paris Agreement Masih Cukup?
Sepuluh tahun berjalan, pertanyaan yang semakin sering terdengar adalah apakah Paris Agreement masih memadai untuk menghadapi skala krisis saat ini. Beberapa pengamat menilai kesepakatan ini terlalu lunak karena tidak mengikat secara hukum dengan sanksi tegas. Yang lain berpendapat bahwa fleksibilitas justru menjadi kekuatannya, memungkinkan partisipasi luas.
Namun satu hal menjadi jelas: Paris Agreement hanya akan sekuat tindakan nyata para penandatangan. Tanpa percepatan kebijakan, peningkatan ambisi, dan solidaritas global yang lebih konkret, kesepakatan ini berisiko dikenang sebagai momen harapan besar yang tidak sepenuhnya diwujudkan.
Menatap Dekade Berikutnya
Dekade kedua Paris Agreement akan menentukan apakah dunia mampu membelokkan arah menuju masa depan yang lebih aman secara iklim. Pilihannya semakin sempit: bertindak cepat dengan biaya besar sekarang, atau menunda dan membayar harga yang jauh lebih mahal di kemudian hari.
Bagi banyak negara, termasuk di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, isu iklim kini tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, ketahanan pangan, stabilitas sosial, dan keamanan ekonomi. Paris Agreement, dengan segala keterbatasannya, tetap menjadi kerangka bersama terakhir yang dimiliki dunia.
Pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan iklim itu nyata, melainkan seberapa serius dunia bersedia berubah.
Akhir Kata: Kesepuluh Tahun yang Menuntut Tindakan Lebih
Peringatan sepuluh tahun Paris Agreement bukan sekadar ulang tahun yang harus dirayakan dengan retorika, tetapi momen untuk:
- Mengukur selisih antara janji dan realisasi,
- Mendemokratisasi kebijakan iklim agar lebih adil dan inklusif,
- Mempercepat implementasi komitmen nasional,
- Mengintegrasikan iklim dalam kebijakan pembangunan yang berkelanjutan,
- Membantu negara rentan menyesuaikan diri dengan dampak yang sudah terjadi.
Jika sepuluh tahun pertama Paris Agreement menunjukkan satu hal secara jelas, itu adalah: kita sudah kehilangan waktu terlalu lama. Sekarang bukan saatnya menunda lagi — inilah masanya bertindak, dengan keberanian dan urgensi yang sesuai dengan besarnya tantangan iklim global.




Leave a comment